Selasa, 28 Mei 2013

sistem jual beli kredit


sistem jual beli kredit

PENDAHULUAN

بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، والصلاة و السلام على النبي الأمين، سيد الأولين و الأخرين، محمد، وعلى آله و أصحابه، و سائر النبيين و المرسلين أجمعين

Istilah “kredit” sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ya, itulah sebuah sistem dalam jual beli yang sedang naik daun di Indonesia. Hanya dengan uang muka 500.000,- sebuah sepeda motor dapat dibawa pulang. Tetapi angsuran harga  yang harus dilunasi akan benilai lebih dibanding dengan harga kontannya. Kata orang ini adalah jasa waktu.

Sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan, Islam tampil menaggapi semua permasalahan yang muncul di masyarakat. Sehingga setiap hal-hal baru yang muncul, adakalanya terlarang oleh Islam dan adakalanya dibolehkan. Tidak ada suatu kasuspun yang tertinggal oleh Islam. Semua telah ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Andaipun ada suatu masalah yang tidak ada dalam  Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ulama akan berijtihad mengenai hukumnya, dan ijtihad mereka tidak akan pernah keluar dari Al Qur’an dan As-Sunnah.

Mengenai jual beli dengan sistem yang muncul dan meraja lela di zaman ini pun Islam tidak meninggalkannya tanpa hukum. Lalu pakah hukumnya..? Sebuah pertanyaan yang wajar dan layaknya tersampaikan.



Artikel singkat ini berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bahasa yang kurang lanyah, pembahasan yang kurang sistematis, dan analisis yang (mungkin) kurang tajam adalah kekurangan yang tidak dapat dielak, karena terbatasnya ilmu. Dan akhirnya kami serahkan semuanya kepada Allah ta’ala.

BAB I

APA ITU SISTEM JUAL BELI KREDIT?

Dalam KUBI [1] disebutkan;

Kredit /kredit/ (menjual dgn – ), menjual barang dgn tiada pembayaran tunai (jadi pembayarannya ditangguhkan atau diangsur); 2 (membeli dgn – ), membeli dgn pembayaran yg ditagguhkan atau diangsur;

Jual beli kredit menurut istilah arab adalah بيع التقسيط . Secara bahasa التقسيط   dipakai dalam beberapa makna;

Pertama, membagi dan menjadikan beberapa bagian. Dalam Al-Mu’jamul Wasieth, disebutkan;

( قسط ) الشيء جعله أجزاء والدين جعله أجزاء معلومة تؤدى في أوقات معينة. [2]

Qassathas Syaia artinya menjadikannya beberapa bagian. Dan (Qossathad) Dayna artinya menjadikannya beberapa bagian yang diketahui, ditunaikan ada waktu yang tertentu.

Kedua, membagi dengan sama. Ibnu Mandhur menyebutkan;

وتقَسَّطُوا الشيءَ بينهم تقسَّمُوه على العَدْل والسَّواء. [3]

Qassathusy Syaia bainahum artinya mereka membaginya dengan adil dan sama.

Dari dua makna ini, taqsieth bermakna membagi sesuatu dengan sama dan adil. Jika yang di-taqsieth itu hutang maka maknanya ialah menjadikan hutang itu beberapa bagian dan membayarkannya pada waktu waktu tertentu.

Sedang menurut syari’at,  baqi’ut Taqsith ialah seorang penjual menjual barangnya dengan harga lebih tinggi daripada harga kala itu, yang dibagi-bagi menjadi beberapa bagian tertentu dan dibayarkan pada waktu waktu tertentu. [4]

Orang arab mempunyai istialah yang lain untuk jual beli ini selain taqsieth, yaitu ta`jiel. Ta`jiael menurut bahasa berarti menunda dan menangguhkan. Sedang menurut istilah berarti menunda pembayaran harga dagangan sampai waktu mendatang, baik sebulan atau setahun, dibayarkan sekali  (kontan) atau beberapa kali (angsuran). [5]

Dalam kitab Durarul Hukkam [6], dinyatakan bahwa antara taqsieth dan ta`jiel ada khusus mutlak dan umum. Pada tiap taqsieth ada ta`jiel, maka istilah ta`jiel itu maknanya umum. Dan pada ta`jiel terkadang ada taqsieth terkadang tidak ada, maka istilah taqsieth itu maknanya khusus.

Macam macam taqsieth:

    Al Hulul atau Al Ajal

Yaitu seorang mengatakan aku jual barang ini dengan harga sekian secara kontan dan sekian dengan kredit. Sistem jual beli ini dikenal dengan jual beli kredit.

     Al Ajlan

Yaitu seorang mengatakan aku jual barang ini dengan harga ditunda, sebualan – sekian dan dua bulan – sekian.

Dari dua macam taqsith ini, yang akan dibahas dalam artikel ini hanyalah yang macam pertama; yaitu jual beli yang dilakukan dengan menggunakan dua harga sekaligus, harga yang satu tinggi (mahal) yaitu harga kredit, dan yang lain lebih murah.

Dalam praktik jual beli ini, mula-mula penjual menentukan dua harga; harga kontan dan harga kredit, lalu pembeli diberi kebebasan untuk memilih harga yang mana yang dia mau. Maka pertama yang akan dibahas di sini adalah jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit.

BAB II

JUAL BELI DENGAN  DUA HARGA; HARGA KONTAN DAN HARGA KREDIT

Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya jual beli ini menjadi empat pendapat. Berikut empat pendapat tersebut;

    Tidak Sah dan tidak Boleh Dilakukan … (1)

Ibnu Hazm Adh-Dhahirie adalah satu satunya ulama yang berpendapat dengan pendapat ini. Itu disebabkan oleh pendirian beliau untuk bergengan dengan dhahir nas-nas syar’ie, dan tidak mentakwil sedikitpun nas nas yang ada. Beliau menyatakan sebagai berikut;

مسألة: ولا يحل بيعتان في بيعة،   . . .  ومثل: أبيعك سلعتي هذه بدينارين نقدا أو بثلاثة نسيئة.   . . .  فهذا كله حرام مفسوخ أبدا محكوم فيه بحكم الغصب. برهان ذلك: ما روينا   . . .  عن ابن عمر قال: ” نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة” [7]

Permasalahan: tidak halah dua jual beli dalam satu jual beli.  . . .  dan seperti; aku jual barangku ini kepadamu dengan dua dinar secara kontan atau tiga dinar secara kredit . . . Ini semua selamanya haram, batal, dihukumi ghashab. Buktinya adalah hadits yang kami riwayatkan . . .  dari ibnu umar radliyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli.”

    Boleh, jika Salah Satu Harga telah Disepakati… (2)

Pendapat ini merupakan pendapat yang paling banyak pengikutnya. Mereka melandasi dan menguatkan pendapat ini dengan hadits yang dipakai juga oleh Ibnu Hazm untuk menguatkan pendapatnya. Yaitu, hadits tentang larangan diadakannya dua jual beli dalam satu jual beli. Menurut mereka, dalam larangan jual beli ini ada illatnya, yaitu; jahalatuts tsaman (harga yang tidak diketahui). Asy-Syaukani menyatakan sebagai berikut;

. . .  ونقل ابن الرفعة عن القاضي إن المسألة مفروضة على أنه قبل على الأبهام اما لو قال قبلت بألف نقدا أو بألفين بالنسيئة صح ذلك . [8]

… Dan Ibnu Rif’ah telah menukil dari Al Qodlie bahwa masalah ini berlaku pada saat pembeli menerima dan belum ada kesepakatan harga. Adapun jika pembeli mengatakan, “Aku terima dengan kontan seribu” atau “Dengan kredit dua ribu”,  maka jual beli itu sah.

At-Turmudzi [9] menyebutkan bahwa dua jual beli dalam satu jual beli itu telah ditafsirkan oleh sebagian ulama dengan jual beli dengan dua harga, dan yang terlarang adalah jika tidak ada kesepakatan dengan salah satu harga. Teks lengkapnya sebagai berikut;

وقد فسر بعض أهل العلم قالوا بيعتين فى بيعة أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على واحد منهما.

Dan sebagian ahli ilmu telah menafsirkan; dua jual beli dalam satu jual beli itu  seorang mengatakan bahwa Seorang mengatakan: aku jual baju ini dengan harga kontan 10, dan harga yang ditangguhkan 20, dan tidak tidak meninggalkan dengan salah satu harga. Jika dia meninggalkannya dengan salah satu keduanya maka itu tidak mengapa, bila benar akad itu dengan salah satu dari keduanya.

Sebagaimana telah disebutkan, pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas (jumhur) ulama, termasuk Ulama dan komite-komite fatwa kontemporer. Diantaranya;

Al-Baghawie. Beliau menyatakan;

أن يقول : بعتك هذا الثوب بعشرة نقدا، أو بعشرين نسيئة إلى شهر، فهو فاسد عند أكثر أهل العلم، لأنه لا يدرى أيهما الثمن ، وجهالة الثمن تمنع صحة العقد. [10]

Bahwa dia mengatakan: aku jual baju ini dengan harga sepuluh secara kontan atau dua dengan ditangguhkan sampai satu bulan, maka jual beli ini rusak menurut kebanyakan ulama, karena dia tidak tahu mana dari dua harga itu yang dipakai. Sedang tidak diketahuinya harga itu menghalangi sahnya akad jual beli.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munjid. Beliau berfatwa;

. . .  إذا قال البائع : هذه السيارة بخمسين ألف نقدا ، وستين ألف بالتقسيط، فهذه المسألة لها صورتان : الأولى : أن يتفرق البائع والمشتري وقد اتفقا على ثمن منهما وطريقة السداد، فالبيع جائز. الثانية : أن يتفرقا من غير اتفاق على الثمن ، فهذا البيع محرم ولا يصح . [11]

. . .  Apabila penjual mengatakan: mobil ini harganya lima puluh ribusecara kontan, dan enam puluh ribu secara kredit, maka ada dua kemungkinan; pertama, penjual dan pembeli berpisah dan sudah ada kesepakatan salah satu harga dan cara pembayarannya. ini boleh. Kedua, keduanya berpisah tanpa ada kesepakatan harga, maka jual beli ini haram, dan tidak sah.

Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta`, ketika ditanyakan tentang jual beli mobil dengan harga 10 ribu secata tunai dan 20 ribu secara kredit, menjawab;

إذا باع إنسان لأخر سيارة بعشرة آلاف ريال مثلا نقدا ، أو باثني عشر ألف ريال إلى أجل ، وتفرقا من مجلس العقد دون أن يتفقا على أحد الأمرين : ثمن النقد أو ثمن التأجيل لم يجز البيع ولم يصح ، لجهالة الحال التي انتهى إليها البيع من حلول أو تأجيل . . .  وإن اتفق المتبايعان قبل أن يتفرقا من مجلس العقد على أحد الثمنين ثمن النقد أو ثمن التأجيل ثم تفرقا بعد التعيين فالبيع جائز صحيح للعلم بالثمن وحاله اهـ.  [12]

Jika seorang menjual sebuah mobil kepada orang lain dengan harga 10 ribu riyal misalnya, dibayar secara tunai atau dengan 12 ribu riyal dengan ditangguhkan. Dan keduanya berpisah dari tempat transaksi tanpa ada kesepakatan salah satu harga, harga tunai atau harga yang ditangguhkan, maka jual beli itu tidak boleh dan tidak sah, karena keadaan yang terakhir jual beli itu tidak diketahui, apakah tunai atau tidak.  . . .  Adapun jika dua orang yang bertransaksi tadi telah mensepakati salah satu harga; tunai atau ditangguhkan, lalu mereka berpisah setelah ditentukan harganya, maka jual beli itu boleh dan sah, karena keadaan dan harganya sudah diketahui.

Dr. Abdullah Al-Faqih. Beliau berfatwa;

انه يجوز للإنسان أن يبيع سلعةً ما أو يشتريها إلى أجل معلوم، ولو زاد ثمن بيعها أو شرائها إلى أجل على ثمن بيعها أو شرائها حالا. لا حرج في ذلك . . . لكن يشترط لصحة ذلك أن يستوفى البيع الشروط المعتبرة، مثل أن يجزم الطرفان ويتفقا على طريقة الدفع هل هي بالتقسيط، أو بالدفع حالاً . . . .   [13]

Seseorang boleh menjual atau membeli suatu barang (dengan pembayaran yang ditanguhkan) sampai waktu yang diketahui, walaupun harga jual atau harga beli yang ditangguhkan itu  lebih besar daripada harga kontannya. Itu tidak mengapa . . . Tapi, supaya jual beli itu sahnya, akad itu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Seperti; dua belah pihak menentukan dan menyepakati cara pembayaran; apakan dengan cara kredit ataukah dengan cara kontan . . . .

Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi. Ketika beliau ditanya tentang hukum pembelian dengan cara kredit dari orang yang menawarkan untuk suatu barang dua harga; kontan dan kredit, beliau menjawab;

يجوز ان لم يتفرقوا من المجلس والا قد اتفقوا على احد الآمرين. [14]

 Itu boleh, jika mereka belum berpisah atau mereka telah sepakat atas salah satu dari dua hal itu.

Syaikh Khalid Abdul Mun’im Ar-Rifa’ie. Ketika ditanya, apakah boleh seorang menambah harga barang karena dijual dengan cara kredit, beliau menjawab;

انه يجوز البيع بالتقسيط إلى أجل معلوم، ولو مع زيادة الثمن، إذا وقع البيع مستوفيا الشروط؛  . . .  منها اتفاق الطرفين على الثمن، وعلى طريقة الدفع؛ وهل هي بالتقسيط، أم بالدفع حالاً قبل إبرام العقد. [15]

Jual beli dengan kredit sampai waktu yang jelas itu boleh, walaupun dengan tambahan harga, asalkan jual beli itu memenuhi syarat; . . . diantaranya ada kesepakatan dua belah pihak atas harga dan cara pembayarannya; apakah dengan kredit atau dengan kontan sebelum selesainya akad.

Begitu juga yang ketetapan dan keputusan Al-Majma’ul Fiqhie. Ketetapan itu berbunyi;

Tambahan dalam harga yang ditangguhkan dari harga kontan itu boleh, sebagaimana boleh menyebutkan harga kontan dan harga kredit sampai waktu tertentu untuk satu barang. Dan suatu jual beli itu tidak sah kecuali jika dua transaktor itu menetapkan salah satunya; kontan atau kredit. Dan jika jual beli itu berakhir dan masih mengambang antara kontan dan kredit,  dengan tidak ada kesepakatan yang tetap atas salah satu harga maka jual beli itu tidak boleh menurut syariat.

    Boleh, Jika Syarat Sah Jual Beli Terpenuhi [16]… (3)

Menurut pendapat ini jual beli yang dilakukan dengan dua harga, harga kontan dan harga kredit, itu tidak terlarang, dan tidak ada nas yang melarang. Adapun larangan Nabi dari dua jual beli dalam satu jual beli, menurut mereka tidak bisa diartikan dengan jual beli dengan dua harga; kontan dan kredit. Dua jual beli dalam satu jual beli hanya bisa diartikan dengan jual beli ‘ienah, yaitu; seorang yang menjual barangnya kepada seseorang dengan harga tertentu dibayar dengan kredit lalu dia membelinya lagi dengan harga yang lebih murah dibayarkan secara kontan. Pendapat ini masyhur dari Imam Ibnul Qoyyim;

وقد فسرت البيعتان في البيعة بأن يقول أبيعك بعشرة نقدا أو بعشرين نسيئة هذا بعيد من معنى الحديث من وجهين:  أحدهما أنه لا يدخل الربا في هذا العقد. الثاني أن هذا ليس بصفقتين إنما هو صفقة واحدة بأحد الثمنين. [17]

Dan dua jual beli dalam satu jual beli itu telah ditafsirkan dengan, perkataan pedagang ‘aku jual dengan harga sepuluh dengan kontan atau dua puluh dengan kredit’. Tafsir ini jauh dari makna hadits ini, dilihat dari dua arah; pertama, tidak ada riba pada transasi ini. kedua, bentuk jual beli ini bukan dua transaksi, tapi hanyalah satu transaksi dengan salah satu dari dua harga.

Pendapat ini dipilih oleh Al-Utsaimin sebagai pendapat yang paling kuat. Berikut nukilan pernyataan beliau;

. . .  بل هذا لا بأس به، لأنه لا يخلو إما أن نتفرق بدون قطع ثمن، وإما أن نقطع الثمن من قبل التفرق، إن قطعنا الثمن قبل التفرق وقلت: أخذته بعشرة نقداً فالبيعة واحدة، وإن تفرقنا فإنه يبقى الثمن مجهولاً، ومعلوم أن من شروط البيع أن يكون الثمن معلوماً، فهنا ينهى عنه لا لأنه بيعتان في بيعة، ولكن لأن الثمن مجهول. [18]

. . . Bahkan jual beli seperti ini tidak mengapa dilakukan. Karena jual beli ini tidak akan lepas dari dua kemungkinan; berpisah tanpa kesepakatan harga, atau berpisah dengan kesepakatan harga. Jika kita telah menetapkan  harga sebelum berpisah, dan anda katakan, “Aku membelinya dengan 10 secara kontan” maka itu satu jual beli yang sah. Dan jika kita berpisah dan harga hasih majhul maka telah ma’lum bahwa termasuk syarat jual beli itu ialah harga diketahui. Maka jual beli ini terlarang bukan karena dia itu dua jual beli dalam satu jual beli, tetapi karena harganya majhul (tidak diketahui).

Sangat jelas dari yang dinyatakan Al-Utsaimin bahwa jual beli dengan dua hara itu terlarang bukan karena merupakan satu jual beli dalam satu jual beli. Tetapi terlarang karena tidak memenuhi syarat.

    Tidak Boleh, Kecuali Dengan Harga Yang Paling Murah… (4)

Pendapat ini dinyatakan oleh beberapa gelintir ulama saja. Sampai-sampai disebut sebagai pendapat yang syadz. Begitu sebutan Syaikh Sa’d At-Turkie dalam risalah beliau Ahkamul Bai’ Bit Taqsieth.

Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini ialah Al-Auza’ie sebagaimana dinukil oleh Al-Khattabie. Berikut pernyataan Al-Khaththabie;

لا أعلم أحدا من الفقهاء قال بظاهر هذا الحديث ، و صحح البيع بأوكس الثمنين ، إلا شيء يحكى عن الأوزاعي. [19]

Saya tidak mengetahui dari kalangan fuqaha’ yang berendapat dengan dhahir hadits ini, dan menganggap sah jual beli ini dengan harga yang paling murah kecuali  yang diceritakan dari Al Auza’ie.

Al-Albanie membenarkan pendapat ini dan menguatkannya. Beliau menyatakan;

. . .  فإذن الربا هو العلة ، و حينئذ فالنهي يدور مع العلة وجودا و عدما،  . . . . .  و ذلك ما نص عليه صلى الله عليه وسلم في قوله المتقدم : ” فله أوكسهما أو الربا ” ، فصحح البيع لذهاب العلة ، و أبطل الزيادة لأنها ربا ، و هو قول طاووس و الثوري و الأوزاعي رحمهم الله تعالى كما سبق . و منه تعلم سقوط قول الخطابي في ” معالم السنن ” ( 5 / 97 ) . . .  [20]

. . . Kalau begitu, itulah illahnya. Dan kala itu larangan itu berputar bersamaan dengan illatnya, ada atau tidak. . . . . . Dan itulah yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang telah lewat, “Maka untuknya harga yang paling rendah atau riba.” Maka beliau mengesahkan jual beli itu lantaran telah hilang illatnya, dan membatalkan tambahan karena itu adalah riba. Dan ini merupakan pendapat Thawuus, Ats Tsaurie, dan Al Auza’ie rahimahumullah sebagaimana telah lewat.  Dan dari sini Anda tahu kesalahan perkataan Al Khattabie dalam ma’alimus sunan (5 / 97) . . . 

BAB III

SEBAB PERSELISIHAN

Perselisihan ini berkutak pada sebuah hadits yang berbunyi;

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa`, Imam Ahmad dalam Al-Musnad, Imam Tirmidzie, Imam Nasa`ie, Imam Baihaqie dalam Sunan mereka, dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu.

Sedang Imam Abu Dawud mengeluarkan dalam As-Sunan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu  juga, dengan lafal;

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا

Barang siapa melakukan dua jual beli dalam satu jual beli maka baginya harga yang paling murah atau riba.

Dalam lafal Abu Dawud ini kata فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا adalah tambahan yang sekaligus berposisi sebagai illat larangan dua jual beli dalam satu jual beli.

Dua hadits ini diriwayatkan dari Muhammad bin Amr bin Alqamah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sanad ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabie, At-Tirmidzie, Al-Baghawie, dan juga oleh Ibnu Hazm Adz-Dzahirie [21].

Muhammad bin Amr dalam sanad ini dinilai oleh Abu Hatim; Shalihul Hadits, haditsnya ditulis. Menutur Yahya Al-Qaththan dia adalah orang yang baik tapi bukan orang yang paling kuat hafalannya. An-Nasa`i menyatakan laa ba`sa bihi (tidak ada bahaya padanya). Yahya bin Ma’in menyatakan bahwa banyak orang berhati hati dengan haditsnya, karena terkadang dia menyampaikan hadits dari Abu Salamah sendiri, dan pada kali yang lain menyampaikan dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu. Sedang Ibnu Hajar menilainya sebagai rawie yang shaduq lahu Auham. Meskipun begitu, Al-Bukharie tetap menggunakannya dengan digandengkan dengan yang lain, dan Imam Muslim menggunakannya dalam mutaba’ah. Walhasil, riwayatnya berderajat Hasan.

    Antara  Pendapat (1) Dan  Pendapat (2)

Perbedaan mereka ialah; pendapat (1) tidak menganggap bahwa dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak ada illat, atau minimal mereka tidak mecari cari illatnya, kecuali yang disebutkan oleh Syari’. Dengan kata lain tiap kali ada larangan harus ditinggalkan, tanpa harus tahu, kenapa?.

Sedang pendapat (2) berpadapat bahwa setiap larangan itu ada illatnya. Dan dalam dua jual beli ini illatnya, menurut mereka, adalah jahalatust tsaman (harga tidak diketahui).

Dan dua pendapat ini mempunyai kesepakatan bahwa salah satu makna dua jual beli dalam satu jual beli itu ialah jual beli dengan dua harga; kredit dan kontan.

    Antara Pendapat (2) Dan Pendapat (3)

Dengan memperhatikan ungkapan-ungkapan mereka, dapat diketahui perbedaan antara pendapat (2) dan (3), yaitu terletak pada dua hal;

Pertama, makna dua jual beli dalam satu jual beli.

Kedua, tentang tambahan lafal hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud.

Pendapat (2) menyatakan bahwa tambahan lafal dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud adalah Syadz, karena hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja, dan menyelisihi yang lain.

Adapun makna dua jual beli dalam satu jual beli yang paling kuat adalah jual beli dengan dua harga; kontan dan kredit. Tafsir ini yang paling masyhur di kalangan ulama salaf. Dan dari segi bahasa makna ini bisa diterima.

Tetapi menurut pendapat (3), tambahan lafal hadits itu dapat diterima, karena rawi yang meriwayatkannya adalah rawi yang tsiqat. Dan tambahan yang diriwayatkan oleh rawi tsiqat itu maqbul.

Adapun makna dua jual beli dalam satu jual beli itu hanyalah jual beli ‘ienah saja; yaitu seorang yang menjual barangnya kepada orang lain dengan harga yang dibayar dengan kredit, lalu dia membelinya kembali dengan harga yang lebih murah, dibayarkan secara kontan. Tidak bisa dimaknai dengan yang lain. Jual beli dengan dua harga tidak termasuk dalam dua jual beli dalam satu jual beli, karena tidak ada riba padanya. Padahal, illat larangan dua jual bi dalam satu jual bi itu adalah riba.

Di samping perselisihan tersebut, dua pendapat ini sama-sama menyatakan bahwa tambahan harga pada harga kredit itu bukan riba, tapi tambahan untuk menghargai waktu. Karena, waktu mempunyai harga.

    Antara Pendapat (3) Dan Pendapat (4)

Dua pendapat ini sepakat bahwa dalam larangan dua jual beli dalam satu jual beli ada illatnya. Dan mereka juga sepakat bahwa illat itu adalah adanya riba di dalamnya, yaitu tambahan pada harga tunda.

Tetapi, mereka berselisih mengenai tafsir dua jual beli dalam satu jual beli yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat (3) menganggap bahwa dalam jual beli dengan dua harga tidak ada riba, sehingga tidak bisa dimasukkan dalam dua jual beli dalam satu jual beli. Adapun tambahan harga di dalamnya itu merupakan ganti atau harga penangguhan waktu, sebagaimana yang telah lalu.

Sedangkan pendapat (4), mereka mengatakan bahwa tafsir yang paling tepat ialah tafsir yang dinyatakan oleh rawie dan ulama salaf; yaitu jual beli dengan dua harga. Alasan mereka adalah adanya kaedah yang menyatakan bahwa rawie itu lebih faham dengan hadits yang ia riwayatkan. Tapi mereka juga tidak menafikan tafsir yang lain yang dapat diterima menurut bahasa dan syariat.

    Antara Pendapat (4) Dan Pendapat (1)

Perbedaan antara pendapat (1) dan pendapat (4) terlatak pada penilaian hadits; مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا.

Menurut pendapat (1) hadits ini mansukh dengan hadits; نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ. Sebab hadits مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ itu mencocoki hukum asal mu’amalah, yaitu halalnya jual beli dengan harga yang paling murah (dalam jual beli dengan dua harga). Sedang hadits yang نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ ini mengharamkan jual beli itu dengan harga mana saja, dengan harga yang paling murah atau yang mahal. Maka, hukum asal (halal) itu dihapus dengan pengharaman secara muthlaq.

Sedang menurut pendapat (4), hadits itu tidak mansukh, bahkan muhkam. Karena, menghukumi suatu nas dengan naskh itu harus diketahui mana yang awal, mana yang akhir. Dan itu tidak diketahui dengan sempurna kecuali dengan tarikh. Padahal tidak ada penjelasan tarikh mengenai  hadits ini. Maka tidak bisa hadits ini dihukumi mansukh.

    Antara pendapat (3) dan pendapat (1)

Perbedaan antara  pendapat (3) dan pendapat (1) adalah;

Pertama, pada hadits مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا. Pendapat (1) menganggap hadits itu mansukh. Sedang pendapat (3) menganggapnya muhkam.

Kedua, tentang tafsir dua jual beli dalam satu jual beli. Pendapat (1) berpandapat bahwa jual beli itu bisa bermakna jual beli dengan dua harga. Sedang pandapat (3) tidak.

Dengan uraian ini, letak perselisihan pendapat-pendapat ini dapat dirangkumkan sebagai berikut;
No.     Tbh lafal Hd.     Illat 2 JB dl. 1 JB.     Makna 2 JB dl. 1 JB.     Tbhn JB. 2 harga
..(1)     Mansukh     Tidak ada     JB. 2 harga    
..(2)     Syadz     Jahalah tsaman     JB. 2 harga     Harga, bkn riba
..(3)     Maqbul     Riba     JB. Ienah saja     Harga, bkn riba
..(4)     Maqbul     Riba     JB. 2 harga     Riba

BAB IV
ANALISIS DAN MUNAQASYAH (1)

    Tentang Naskh Hadits Riwayat Abu Dawud

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ini dinyatakan oleh pendapat pertama telah dinasakh oleh hadits yang diriwayatkan selainnya. Alasanya adalah riwayat Abu Dawud ini mencocoki ma’hudul Ashl (fakta asal). Sedang dalam mu’amalah asal hukum itu boleh sampai ada larangan dari syari’. Jika dua jual beli dalam satu jual beli itu dilarang berarti hukum asal-nya telah dinaskh (dihapus). Maka hadits yang mencocoki fakta dan hukum asal juga dinaskh.

Tentang penggunaan jalan naskh pada nash-nash yang lahirnya bertentangan, ada kaedah umum yang berbunyi;

لا يُصار إلى النسخ إلا بعد تعذُّر الجَمْع بينهما. [22]

Tidak dibawa kepada hukum naskh kecuali setelah tidak bisa dijama’ (dikompromikan).

Hadits-hadits ini sangat bisa dikompromikan, sebagaimana dilakukan oleh Syaikh Al-Albanie. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menambahi keterangan hadits yang diriwayatkan oleh selainnya. Berikut jama’ hadits yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albanie;

فانظر مثلاحديث ابن مسعود ، فإنك تجده مطابقا لهذه الأحاديث ، ولكنه يزيد عليها ببيان علة النهي ، و أنها ( الربا ) . و حديث الترجمة يشاركه في ذلك ، و لكنه يزيد عليه فيصرح بأن البيع صحيح إذا أخذ الأوكس ، و عليه يدل حديث ابن مسعود أيضا لكن بطريق الاستنباط على ما تقدم بيانه. [23]

Pehatikan! Hadits Ibnu Mas’ud misalnya, Anda dapati haditsnya itu sejalan dengan hadits-hadits (tentang dua jual beli dalam satu jual beli). Tapi hadits itu ada tambahan keterangan tentang illat larangannya. Yaitu riba. Sedang hadits yang jadi bab berserikat dalam hal (larangan) itu, tapi ada tambahan, sehingga tambahan itu menjelaskan bahwa jual beli itu sah jika menggunakan harga yang paling murah. Dan hadits Ibnu Mas’ud pun menunjukkan seperti itu juga dengan jalan istimbat, sebagaimana keterangan yang lalu.

Hadits Ibnu Mas’ud yang dimaksudkan oleh Al-Albanie ialah haditsnya tentang dua jual beli yang diriwayarkan oleh Imam Ahmad. Teks lengkapnya sebagai berikut;

. . . عن عبد الله بن مسعود أنه قال : لا تصلح سفقتان في سفقة وان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لعن الله آكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه. [24]

Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata,: Tidak benar (halal) dua akad jual beli dalam satu akad, dan sungguh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah melaknat pemakan riba, memberinya, dan pencatatnya.”

Disini Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu menyadur sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai akibat muamalah dengan riba setelah mengatakan larangan dua jual beli dalam satu jual beli. Itu menyiratkan keterangan bahwa dalam dua jual beli dalam satu jual beli itu ada riba. Dan riba itulah yang menjadi illat larangan. Pernyataan ini dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud secara tersirat saja, sehingga oleh Al-Albanie disebutkan dengan “jalan istimbat”.

Dengan adanya jalan jama’ ini maka menggunakan jalan naskh dalam menanggapi hadits-hadits ini, telah menyalahi kaedah umum penggunaannya. Dengan begitu hadits riwayat Abu Dawud ini tidak bisa dihukumi mansukh.

Dengan menilik syarat-syarat penggunaan jalan naskh kesalahan ini pun tampak semakin jelas. Salah satu syarat naskh ialah; Ma’rifatut Tariekh (diketahuinya waktu wurud hadits). Sedang dua lafal hadits ini tidak diketahui tarikh wurudnya, maka tidak diketahui mana yang lebih awal dan mana yang datang belakangan. Sehingga jika dipaksakan untuk digunakan jalan naskh berarti hukum naskh itu berdasarkan ihtimal (kemungkinan). Sedang, hukum itu tidak bisa bersandar pada ihtimal.

Alhasil, hadits riwayat Abu Dawud ini tidak bisa dihukumi mansukh. Artinya riwayat ini muhkam bukan mansukh. Wallahu ‘a’lam.

     Tentang Syudzudz Hadits Riwayat Abu Dawud

Selain dihukumi sebagai hadits mansukh hadits riwayat Abu Dawud ini juga dianggap oleh pendapat (2) sebagai hadits yang syadz, karena menyelisihi riwayat yang lebih masyhur.  Jalan periwayatan hadits hadits ini ialah sebagai berikut; Muhammad bin Amr dari Salamah dari        Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu..

Muhammad bin ‘Amr mempunyai banyak murid, diantaranya; Abdul Wahhab bin ‘Atha`, Abdah bin Sulaiman, Yahya bin Sa’ied, Ismail bin ja’far,, Mu’adz bin Mu’adz, dan Yahya bin Zakariyya.

Dari sekian rawi, yang meriwayatkan lafal yang ada tambahan (lafal Abu Dawud) Yahya bin Zakariyya saja. Sedang yang lainnya meriwayatkan tanpa tambahan (lafal milik selain Abu Dawud).  Dengan bersendirinya Yahya bin Zakariyya dengan lafalnya yang dia riwayatkan dari Muhammad bin Amr maka oleh pendapat (2) dinilai riwayatnya itu syadz, karena menyelisihi yang lainya (lebih banyak).

Ulama menetapkan, jika ada dua nash atau lebih yang bertentangan maka awal yang harus ditepuh adalah menjama’ (mengkompromikan) nash-nash tersebut. Jika tidak bisa dikompromikan yang artinya tidak bisa dilakukan jalan jama’, maka jalan yang harus ditempuh adalah jalan nasakh dengan syarat diketahui tarikh wurud masing-masing nash. Nash yang datang lebih dulu itu mansukh, dan yang datang kemudian itu nasikh. Jika tidak diketahui tarikh wurudnya, maka yang harus ditempuh adalah jalan tarjih, yaitu memenangkan salah satu nash (yang labih kuat) dan memberlakukannya. Jika tidak bisa ditarjih maka jalan terakhir adalah tawaqquf, yaitu berdiam diri tidak mengamalkannya sampai terang mana yang harus diamalkan.

Hadits syadz adalah hadits maqbul  yang menyelisihi hadits yang lebih kuat darinya. Dan tidak dikatakan sebuah hadits itu syadz kecuali telah dilakukan tarjih dengan hadits yang lebih kuat darinya.

Menganggap hadits riwayat Abu Dawud ini sebagai hadits syadz berarti melakukan tarjih dalam menanggapi pertentangannya dengan yang lain. Dan tersebut di depan bahwa jalan tarjih itu dilakukan jika jalan nasakh tidak bisa dilakukan. Dan jalan nasakh tidak bisa ditempuh jika jalan jama’ bisa dilakukan.

Telah lalu pula bahwa hadits Abu Hurairah yang datang dari jalan periwayatan dengan lafal yang berbeda-beda ini  bisa dijama’ dan dikompromikan. [25]

Karena riwayat-riwayat ini bisa dijama’ maka menempuh jalan tarjih adalah menyelisihi kaedah, yang artinya  itu tertolak. Jika penggunaan jalan tarjih ditolak maka pernyataan bahwa hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Abu Dawud ini sebagai hadits syadz tertolak juga.

Alhasil, hadits riwayat Abu Dawud ini tidak bisa dihukumi syadz, dan tetap riwayat ini hukumnya maqbul (diterima). Wallahu ‘a’lam.

    Tentang Illat (Sebab) Larangan Dua Jual Beli Dalam Satu Jual Beli

Di sini ada perbedaan sangat tajam. Mayoritas ulama, seperti Asy-Syaukanie, Al Khaththabie, Ash-Shan’anie, As-Saharanfuri, As-Samarqandi, Al-Kasanie, Asy-Syirazie, An-Nawawie, Asy Syafi’ie, Ibnur Rif’ah, Sulaiman Al-Jamal, Ibnu Qudamah, dan yang sejalan dengan mereka, berpandapat bahwa illat dua jual beli dalam satu jual beli itu ialah jahalatus tsaman (harganya tidak diketahui). Dan sebagian ulama, selain mereka, mengatakan bahwa illatnya adalah adanya riba.

Ketika riwayat tentang larang dua jual beli dalam satu jual beli yang diriwayatkan oleh Abu Dawud diterima, maka tidak boleh tidak illat dilarang jual beli ini  adalah adanya riba. Dengan begitu, pernyataan bahwa illat larang ini adalah jahalatuts tsaman dengan sendirinya tertolak, karena menyelisihi nash, apalagi pernyataan ini hanya berdasarkan akal saja, tanpa ada dalil syar’ie yang menguatkannya. Walhasil, dilihat dari segi  naql, jahalatuts tsaman bukan illah larangan dua jual beli dalam satu jual beli.

Di sisi lain, kebanyakan mereka yang berpandapat dengan pendapat ini mengatakan bahwa termasuk syarat sah jual beli itu adalah adanya ijab-qabul. Itu artinya, pembeli tidak akan meninggalkan kecuali dalam salah satu dari dua keadaan; sudah membayar harga barang yang ia beli atau belum membayar. Jika dia pergi dan sudah membayar berati dia menggunakan harga kontan. Dan jika dia pergi dan belum membayar berarti dia menggunakan harga yang ditangguhkan. Dan jahalatuts tsaman yang mereka dakwakan tidak terwujut di sini. Jadi, menurut aql, jahalatuts tsaman batal untuk menjadi illat larangan jual beli ini.

Kesimpulannya, illat larangan dua jual beli dalam satu jual beli itu ialah riba, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Wallahu ‘a’lam.

    Tentang Makna Dua Jual Beli Dalam Satu Jual Beli

Tentang dua jual beli dalam satu jual beli, ulama mempunyai beberapa tafsiran. Yang paling masyhur diantaranya ialah;

Pertama, Jual beli dengan dua harga; kontan dan kredit. Seperti seorang mengatakan, “Aku jual dengan harga sepuluh rupiah kontan, atau dua puluh rupiah dengan kredit.” Makna ini dinyatakan oleh Simak, Abdul Wahhab bin ‘Atha. Keduanya adalah rawi hadits dua jual beli dalam satu jual beli ini .

Kedua, Syarat yang berupa akad di dalam suatu akad. Seperti; perkataan seseorang, “Aku jual kebunku ini kepadamu dengan syarat kamu mau menjual rumahmu kepadaku.” Makna ini disebutkan oleh Imam Asy Syafi’ie.

Ketiga, Jual beli dua barang yang sama dengan harga berbeda. Seperti; seseorang menjual dua baju yang sama, satu di antaranya dengan harga 30.000,- dan yang satunya lagi dengan harga 40.000,-. Makna ini dinukil dari sebagian Malikiyyah.

Keempat, Jual  beli ‘Ienah. Seperti; seorang menjual suatu barang dengan harga ditangguhkan, lalu membelinya kembali dari pembeli tersebut dengan harga lebih murah, dibayar kontan. Tafsir ini ditarjieh oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [26], Ibnul Qayyim Al Jauziyyah [27], dan Al-Utsaimien [28].

Kelima, jual beli hutang dengan hutang. Seperti; seorang menitipkan uang kepada pedagang untuk dibelikan satu takaran beras dalam jangka waktu satu bulan. Ketika waktu yang ditentukan telah tiba, pedagang tersebut meminta untuk diperpanjang waktunya, dan sebagai imbalannya beras yang dipesan akan dibayar dengan dua takaran. Makna ini disebutkan oleh Al-Khaththabie, Ibnu Ruslan dan Ibnul Atsier.

Dari alasan yang masing masing pendapat ajukan, maka agaknya pendapat pertama tentang makna dua jual beli dalam satu jual beli ini lebih kuat dari yang lainnya. Meskipun begitu, tidak cukup ditentukan begitu sebelum ada anasilis dan tinjauan kritis tentang alasan alasan tersebut.

Pertama, makna itu makna yang dinyatakan oleh rawie hadits ini. Yaitu Simak bin Harb dan Abdul Wahhab bin ‘Atha`. Sedang ada kaedah dalam memahami hadits yang berbunyi,

إنه إذا فسر الحديث بعدة تفاسير ومن بين هذه التفاسير تفسير راويه ، فإن تفسير الراوي للحديث مقدم على كل تفسير ، لأن الراوي أدرى وأعلم بما روى من غيره. [29]

Sesungguhnya jika suatu hadits itu ditafsirkan dengan beberapa tafsiran, dan diantara tafsir-tafsir itu ada tafsir dari rawienya, maka tafsir hadits yang dinyatakan oleh rawie itu dikedepankan daripada yang lain. Karena seorang rawie itu lebih faham dengan apa yang dia riwayatkan daripada orang lain.

Dan sudah semestinya seorang itu meriwayatkan dari gurunya sebuah hadits diiringi dengan maknanya.

Kedua, kebanyakan ulama salaf memaknai dua jual bi dalam satu jual beli dengan makna ini. Di antara mereka adalah; Ibnu Qutaibah, Thawus, Ibnu Sierien, Sufyan Ats-Tsaurie, Al Auza’ie. [30] Dan sudah ma’lum bahwa ulama salaf itu lebih tahu tentang makna nash, sebagaimana mereka lebih tahu tentang makna dan yang ditunjukkan oleh gaya bahasanya.

Ketiga, menurut bahasa, jual beli  dengan dua harga itu juga cocok untuk dikatakan sebagai dua jual beli dalam satu jual beli. Karena, di situ terkumpul dua jual beli, yaitu jual beli dengan harga kontan dan jual beli dengan harga kredit. Wallahu ‘a’lam.

Jadi, makna yang tepat dan paling kuat untuk dua jual beli dalam satu jual beli adalah jual beli dengan dua harga; kontan dan kredit. Wallahu ‘a’lam.

    Tentang Ihtijaj (Berdalil) dengan Hadits Riwayat Abu Dawud untuk masalah jual beli dengan dua harga

Setelah nampak bahwa hadits riwayat Abu Dawud ini terbukti tsubutnya (tetap dan shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentu saja menurut ilmu dan kaedah yang telah ditetapkan), maka mereka yang berpandapat dengan pendapat yang menyelisihi lahir hadits ini mencela istidlal dengan hadits untuk masalah jual beli dengan dua harga ini dari segi maknanya.  Di antaranya adalah;

Syaikh Asy-Syaukanie mengatakan bahwa adanya kemungkinan makna lain di luar pembahasan, seperti makna yang dibawakan oleh Ibnu Raslan, itu merusak istidlal dengan hadits ini.

Ini dapat dijawab bahwa semua makna dua jual beli dalam satu jual beli dapat diterima. Dengan kata lain, hadits ini bisa digunakan untuk semua makna yang terkandung di dalamnya.  Itu disebabkan, menurut mayoritas ulama, nash yang mempunyai makna lebih dari satu, itu semua maknanya benar jika: tidak saling menyelihi, bisa diterima dari segi bahasa, dan tidak ada dalil yang mengkhususkan salah satu makna. [31]

Dalam kitab Badzlul Majhud, disebutkan bahwa hadits Abu Dawud ini dibawa kepada pengertian jika pembeli merusakkan barang itu, sebelum ada kesepakatan harga yang dipakai.

Ini merupakan ta’wil yang tidak bersandarkan pada dalil, bahkan lebih pantas untuk dikatakan sebagai ta’wil bir ra’yie yang menyelisihi dhahir nashnya. Sampai saat ini belum kita temukan dalil yang menunjukkan bahwa hadits ini berlaku jika pembeli merusakkan barang itu sebelum ada kesepakaatan harga, dan orang yang menyatakan pendapat ini pun tidak menyebutkan dalil atau (minimal) alasannya.

Sedang Al-Khaththabie membawa hadits ini pada makna jual beli hutang dengan hutang yaitu makna yang dibawakan oleh Ibnu Raslan.

Sudah lewat bahwa dari makna satu jual beli dalam satu jual beli itu yang paling kuat adalah jual beli dengan dua harga; harga kontan dan kredit. Dan makna-makna yang lain tetap diterima, tidak ditiadakan dan disalahkan. Maka tidak bisa hadits ini hanya berlaku untuk jual beli hutang dengan hutang saja. Apalagi makna ini tidak lebih kuat daripada makna jual beli dengan dua harga.

Hasil dari analisis di atas dapat diringkas dengan; hadits riwayat Abu Dawud adalah muhkam bukan mansukh, maqbul bukan syadz, ihtijaj dengannya itu tidak terhalangi, illah larang dua jual beli dalam satu jual beli adalah riba, dan maknanya yang paling tepat adalah jual beli dengan dua harga; kontan dan kredit. Dengan ini cukup untuk dikatakan bahwa jual beli dengan dua harga itu terlarang.

Dalam istilah fikih, terlarang adalah sinonim dari kata الْحَرَامُ yang bermakna haram. [32]  Jadi, hukum jual beli dengan dua harga; kontan dan kredit adalah haram, wallahu a‘lam.

Walaupun kesimpulan sudah didapat, masih ada satu masalah yang harus dibahas dan dianalisa, untuk menyempurnakan kesimpulan ini. yaitu;

    Tentang Jual Beli dengan Harga Lebih Lantaran Ditunda Pembayarannya

Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang sangat tajam. Hal ini jelas disebutkan oleh Asy-Syaukani;

وأما في التفسير الذي ذكره أحمد عن سماك وذكره الشافعي ففيه متمسك لمن قال يحرم بيع الشيء بأكثر من سعر يومه لاجل النساء وقد ذهب إلى ذلك زين العابدين بن علي بن الحسين والناصر والمنصور بالله والهادوية والامام يحيى . وقالت الشافعية والحنفية وزيد بن علي والمؤيد بالله والجمهور إنه يجوز لعموم الأدلة القاضية بجوازه وهو الظاهر. [33]

Adapun tafsir yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Simak dan oleh Imam As-Syafi’i  maka di sana ada pegangan bagi orang yang mengatakan; diharamkan menjual sesuatu dengan harga lebih tinggi dari harga hari itu karena tenggang waktu. Dan ini dianut oleh Zainul Abidien Ali bin Husain, An-Nashir, Al Mansur Billah, Al Hadawiyyah, dan Imam Yahya. Adapun  Syaiiyyah, Hanafiyyah, Zaid bin ‘Ali, Muayyid Billah, dan Jumhur mengatakan bahwa itu boleh, dengan keumuman dalil-dalil yang memutuskan akan kebolehanya.

Syaikh Abu Zahrah mengatakan, “Dan sebab perselisihan ini bermuara pada tambahan harga. Apakah tambahan harga untuk membandingi tambahan waktu itu hukumnya seperti  tambahan dalam hutang yang juga untuk membandingi waktu ataukah tidak? Adapun mereka yang mengqiyaskan tambahan harga itu dengan tambahan dalam hutang dan menganggapnya sama maka mereka mengatakan bahwa tambahan harga itu haram. Adapun mereka yang membedakannya maka mereka mengatakan bahwa itu halal.” [34]

Sampai disini, jelaslah bahwa perbedaan yang terjadi disebabkan oleh perbedaan pendapat mengenai tambahan dalam harga kredit atau harga yang ditangguhkan.

BAB V
TENTANG TAMBAHAN HARGA KARENA TAMBAHNYA WAKTU

Pendapat Yang Menganggapnya Riba

Sedang ulama yang mengharamkan jual beli ini mengatakan bahwa dalam harga lebih itu ada riba, dan seperti itulah riba di zaman jahiliyyah yang diharamkan oleh Allah. Imam Al-Jashshash menyatakan;

وقد روى سفيان عن حميد عن ميسرة قال سألت ابن عمر يكون لي على الرجل الدين إلى أجل فأقول عجل لي وأضع عنك فقال هو ربا وروى عن زيد بن ثابت أيضا النهى عن ذلك وهو قول سعيد بن جبير والشعبي والحكم وهو قول أصحابنا وعامة الفقهاء وقال ابن عباس وإبراهيم النخعي لا بأس بذلك والذي يدل على بطلان ذلك شيئان أحدهما تسمية ابن عمر إياه ربا وقد بينا أن أسماء الشرع توقيف والثاني أنه معلوم أن ربا الجاهلية إنما كان قرضا مؤجلا بزيادة مشروطة فكانت الزيادة بدلا من الأجل فأبطله اللّه تعالى وحرمه. [35]

Dan Sufyan telah meriwayatkan dari  Humaid dari Maisarah, dia berkata; aku bertanya kepada Ibnu Umar radliyallahu anhu, bahwa seseorang mempunyai tanggungan hutang kepadaku sampai suatu waktu, maka aku katakan kepadanya, segerakan pemebayarannya untukku dan aku kurangi jumlah hutangmu. Ibnu Umar berkata,”Itu Riba.” Dan diriwayatkan juga dari Zaid bin Tsabit radliyallahu larangn dari perbuatan itu. Dan itupendapat Sa’ied bin Jubair, Asy-Sya’bie, Hakam, teman-teman kami, dan kebanyakan Fuqaha’. Dan adapun Ibnu Abbas dan Ibrahiem An-Nakhaie berkata, “tidak mengapa itu dilakukan.” Dan yang menunjukkan atas kebathilannya adalah dua hal; yang pertama, penamaan Ibnu Umar, bahwa itu Riba. Dan telah kami terangkan bahwa nama nama dalam syari’at itu dari taufiq. Yang kedua, telah maklum bahwa riba jahiliyyan itu hanyalah berupa pinjaman yang ditangguhkan dengan tambahan yang disyaratkan, maka tambahan itu adalah ganti untuk tenggang waktu. Maka Allah ta’ala membatalkannya dan mengharamnkannya.

Sangat jelas dari uraian Al-Jashshash di atas, jelas bahwa tiap tambahan untuk menghargai bertambahnya waktu itu riba.

Di dalam Silsilatul Ahaditsish shahihah, dengan sangat jelas Al-Albanie menyatakan;

فإنك قليل ما يتيسر لك تاجر يبيعك الحاجة بثمن واحد نقدا أو نسيئة، بل جمهورهم يطلبون منك زيادة في بيع النسيئة ، و هو المعروف اليوم ببيع التقسيط ، مع كونها ربا في صريح قوله صلى الله عليه وسلم : من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا. [36]

Sungguh sedikit sekali penjual yang mau menjual kepadamu dagangannya dengan satu harga saja baik dibayar kontan maupun ditangguhkan. Bahkan mayoritas mereka menuntut darimu tambahan pada jual beli yang pembayarannya ditangguhkan. Dan ini yang dikenal sekarang dengan jual beli kredit. Padahal itu adalah riba yang dimaksudkan dalam sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; “barang siapa yang melakukan dua jual beli dalan satu jual beli maka baginya harga yang paling rendah atau riba.”

Dari ungkapan ini, Al-Albanie berdalil dengan hadits riwayat Abu Dawud. Sedang Al-Jashshash berdalil dengan penamaan Ibnu Umar radliyallahu anhu bahwa tambahan dengan bertambahnya waktu itu riba dan dengan hakekat riba di zaman jahiliyyah.

Pendapat Menganggapnya Bukan Riba

Ulama, yang menganggapnya bukan riba mereka membedakan antara riba dan tambahan ini. Disebutkan dalam kitab Al-Fiqhul Manhajie ‘Ala Fiqhisy Syafi’ie, juz , halaman ;

وينبغي أن ينتفي من الأذهان أن في هذا العقد رِباً ، لأن الفارق بين السعرين هو في مقابل الأجل . لأننا نقول : إن الربا هو الزيادة التي يأخذها أحد المتعاملين من الآخر من جنس ما أعطاه ، مقابل الأجل.

Dan sepantasnya dihilangkan dari pikiran bahwa ada riba dalam transaksi ini, karena yang membedakan antara dua harga itu adalah menghargai waktu. Karena kami berpendapat bahwa yang dinamakan riba ialah ziadah yang diambil oleh salah satu dari dua pelaku transaksi dari lawannya, (barang itu) serupa dengan yang dia berikan, sebagai ganti tenggang waktu.

Mereka mendasari penyataan bahwa tambahan harga itu tidak termasuk riba, dan bahwa tambahan itu halal ini dengan berbagai dalil. Diantaranya;

Pertama, hadits Ibnu Abbas radliyallahu anhu tentang sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “kurangi dan akan disegerakan  untuk kalian.” Teks lengkapnya sebagai berikut;

عن ابن عباس رضي الله عنهما ، قال : لما أراد رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يخرج بني النضير قالوا : يا رسول الله ، إنك أمرت بإخراجنا ولنا على الناس ديون لم تحل ، قال : ضعوا وتعجلوا .

Dari ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk mengeluarkan Bani Nadlir, mereka mengadu kepada beliau, ‘wahai Rasulullah! Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami, sedang orang orang masih belum melunasi hutang mereka kepada kami?!’. Beliau menjawab, ‘kurangilah oleh kalian dan kalian akan disegerakan!’’

Kedua, hadits Abdullah bin Amr radliyallahu anhu tentang satu dihutang dengan dua onta;

عن عبد الله بن عمرو: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا فنفدت الإبل فأمره أن يأخذ في قلاص الصدقة فكان يأخذ البعير بالبعيرين إلى إبل الصدقة .

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintaqhnya untuk menyiapkan pasukan. Lalu  habis onta untuk pasukan itu. Maka beliau memerintahnya untuk meminjam onta onta muda dari sedekah. Maka dia meminjam satu onta dengan ganti dua onta sampai masa pangambilan sedekah.

BAB VI
ANALISIS DAN MUNAQASYAH (2)

Tidak mungkin dua pendapat yang saling bertentangan ini semuanya benar. Pasti ada diantaranya yang salah. Kalaupun tidak ada yang salah, maka pasti ada diantara keduanya yang lebih mendekati kebenaran. Untuk itu perlu ada munaqasyah terhadap dua pendapat ini, terutama mengenai dalil dalilnya.

Pertama, hadits Abu Hurairah radliyallahu anhu tentang larangan dua jual beli dalam satu jual beli yang dikeluarkan oleh Abu Dawud. Hadits ini hasan, tidak syadz, dan dapat dijadikan sandaran, sebagaimana yang telah lalu (Bab IV no. 1).

Kedua, penamaan Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma bah+wa tambahan nilai dengan bertambahnya waktu itu riba.

Ketiga, hadits Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma tentang pengurangan hutang dengan dikuranginya tempo waktu pembayaran. Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthnie Al-Baihaqie dan selain keduanya.

Di dalam sanad hadits ini terdapat rawie yang dipermasalahkan; yaitu Muslim bin Khalid Az-Zanjie. Dia, menurut Ibnu Ma’ien, tsiqat, shalihul hadits. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqat, dan mengatakan: Dia termasuk fuqaha’ Ahli Hijaz, Imam Syafi’i belajar fikih dan berguru kepadanya sebelum bertemu dengan Imam Malik bin Anas, dan dia (Muslim) kadang kadang salah. Menurut As Sajie dia itu shaduq, banyak salah, dan dia bermadzhab qadariyyah, tapi dia pernah meriwayatkan hadits yang menafikan madzhab qadariyyah. Imam Al-Bukharie mengatakan bahwa dia mungkarul hadits. Menurut Ibnu Hajar, dia shaduq banyak wahamnya. Sedang Adz-Dzahabie menyimpulkan; dia tsiqat dan dilemahkan oleh Abu dawud karena banyaknya kesalahan yang ia lakukan.

Walhasil, hadits ini dlaif, sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daraquthnie; Muslim bin Khalid mudltarib hadits, dan hafalannya buruk, dlaif. Maka, hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah. Wallahu ‘a’lam.

Keempat, hadits Abdullah bin ‘Amr radliyallahu anhu tentang satu dihutang dengan dua onta.

Hadits ini diriwayatkan lewat dua jalan periwayatan;

Jalan pertama; Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Ishaq dari Yazied bin Abi Hubaib dari Muslim bin Jubair dari Abi Sufyan dari ‘Amr bin Huraisy dari Abdullah bin Amr. Jalan ini dipakai oleh Abu Dawud, Ad-Daraquthnie, dan Al-Baihaqie.

Al-Albanie menilai hadits (dengan sanad) ini dlaif karena di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq yang meriwayatkan dengan ‘an’anah (kata عَن) padalah dia seorang Mudallis (orang yang menyembunyikan cacat pada sanad untuk membaguskan dhahirnya), juga karena keberadaan muslim bin Jubair dan ‘Amr bin Huraisy. Dua orang ini majhul (tidak diketahui).

Al-Baihaqie [37] mengatakan, “Mereka berselisih mengenai periwayatan dari Muhammad bin Ishaq. Dan Hammad paling baiknya riwayat darinya.”

Ibnul Qaththan mengatakan: Hadits ini dlaif, mudltharibul isnad (sanadnya goncang). Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dari Yazied bin Abi Habieb dari Muslim bin Jubair dari Abi Sufyan dari ‘Amr bin Huraisy dari Ibnu ‘Amr. Begini Abu Dawud membawakannya.

Sedang Jarir bin Hazim meriwayatkannya dari Ibnu Ishaq, dengan menjatuhkan (tidak menyebutkan) Yazied bin Ishaq, dan mendahulukan Abu Sufyan daripada Muslim bin Jubair, kata jarir, “Dari Ibnu Ishaq dari Abi Sufyan dari Muslim bin Jubair dari ‘Amr bin Huraisy.” Riwayat ini disebutkan oleh Ad-Daraquthnie.

Adapun ‘Affan dari Hammad, dalam meriwayatkannya dia mengatakan, “dari Ibnu Ishaq dari Yazied dari Muslim bin Abi Sufyan dari ‘Amr bin Huraisy.”

Dan oleh Abdul A’la hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq dari Abi Sufyan dai Muslim Bin Katsier dari ‘Amr bin Al-Hauraisy, lalu menyebutkan hadits ini.

Dan hadits ini diriwayatkan juga oleh Abdul A’la bin Abi Syaibah, dia menjatuhkan Yazied bin Abi Habieb, dan mendahulukan Abi Sufyan, sebagaimana dilakukan oleh Jarier bin Hazim, hanya saja dia berkata pada Muslim bin Jubair; Muslim bin Katsier.

Di samping idlthirab (goncangan) ini, ‘Amr bin Huraisy menjhulul hal (tidak diketahui keadaannya), dan Muslim bin Jubair tidak saya dapatkan tentangnya, dan tidak saya ketahui selain dalam sanad ini. Sehingga Muslim juga majhulul hal, jika meriwayatkan dari Abi Sufyan. Sedang Abu Sufyan sendiri perlu ada tinjauan ulang. Selesai perkataan Ibnul Qaththan.

Dengan keterangan ini, disimpulkan bahwa jalan periwayatan ini dlaif.

Jalan kedua; Ibnu Juraij dari Amr bin Syu’aib dari Bapakya dari Datuknya. Jalan ini dipakai oleh Al-Baihaqie dan Ad-Daraquthnie.

Al-Albanie menyatakan bahwa sanad ini hasan. Dalam Ad-Dirayah, Al-Hafidz mengatakan bahwa sanad ini Kuat.

Ulama berbeda pendapat mengenai derajad sanad  “Amr bin Syu’aib dari Bapakya dari Datuknya” ini. Ada yang mengatakan sanad ini hasan, ada pula yang menilainya sanad yang dlaif, dan ada pula yang menshahihkannya.

Abu Zar’ah mengatakan bahwa ‘Amr bin Syu’aib hanya mendengar beberapa hadits saja dari bapaknya dan dia mengambil kitab bapaknya lalu dia meriwayatkannya. [38] Metode periwayatan seperti ini dikenal dalam ilmu mushthalah hadits dengan metode wijadah. Periwayatan dengan metode wijadah termasuk periwayatan yang munqathi’ (terputus). [39]

Ibnu Hajar berkomentar, “Adapun periwayatan ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, maka seringkali dia mentadlis  apa-apa yang terdapat pada kitab ayahnya dengan lafal عَنْ (dari). Apabila dia mengatakan: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ (bapakku telah bercerita kepadaku), maka tidak diragukan lagi keshahihannya.” [40]

Rawi yang dikenal berbuat tadlis, apabila meriwayatkan dengan menggunakan lafal عَنْ , maka riwayatnya tidak dapat diterima. Apabila dia meriwayatkan dengan lafal سَمِعْتُ atau semisalnya yang menunjukkan bahwa dia benar-benar mendengar dari gurunya, maka riwayatnya dapat diterima. [41]

Pada riwayat ini tidak terdapat kejelasan bahwa ‘Amr bin Syu’aib mendengar langsung dari bapaknya, melainkan dia menggunakan lafal عَنْ (dari). Oleh karena itu, riwayat ‘Amr bin Syu’aib ini dihukumi munqathi’.

Selain permasalahan di atas, ulama berselisih tentang kembalinya dlamir ha’ (هـ) pada kata جده , kepada ‘ Amr atau Syu’aib.

Adapun silsilah nasab ‘Amr bin Syu’aib adalah: ‘Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash. [42]

Ibnu Hibban mengatakan bahwa apabila ‘Amr meriwayatkan dari bapaknya (yaitu Syu’aib) dari kakek Syu’aib (yaitu, ‘Abdullah), maka haditsnya tergolong hadits munqathi’, karena Syu’aib tidak bertemu ‘Abdullah. Jika yang dimaksud dengan جده (kakeknya) tersebut adalah kakek ‘Amr (yaitu, Muhammad), sedang dia bukan seorang shahabat, maka haditsnya tergolong hadits mursal. [43]

Dalam kitab Al-Baihaqie [44] menyatakan bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib itu disandarkan kepada ‘Abdullah bin ‘Amr.

Adz-Dzahabi [45], berkomentar bahwa: Dlamir ha’ (ه) pada kata جده kembali kepada Syu’aib, sehingga yang dimaksud dengan جده pada rangkaian sanad ini adalah ‘Abdullah. Muhammad (ayah Syu’aib) meninggal ketika Syu’aib masih kecil, lalu Syu’aib diasuh oleh kakeknya, yaitu Abdullah. Selain itu, Syu’aib juga mendengar dari Mu’awiyah yang wafat beberapa tahun lebih dahulu daripada ‘Abdullah. Dengan demikian, Syu’aib juga mendengar dari kakeknya, yaitu ‘Abdullah, karena dia diasuh oleh kakeknya sejak kecil.

Abu Bakr bin Ziyad An-Naisaburi mengatakan, “Benar bahwa ‘Amr mendengar dari bapaknya, dan benar pula Syu’aib mendengar dari kakeknya”. [46]

Ibnu Ma’in mengatakan bahwa Syu’aib ini mendapatkan kitab kakeknya lalu dia meriwayatkannya secara mursal. Sebenarnya, hadits-hadits yang dia riwayatkan adalah hadits-hadits shahih milik ‘Abdullah bin ‘Amr (kakeknya), tetapi dia tidak mendengar darinya. [47]

Dari uraian di atas, diketahui bahwa meskipun Syu’aib bertemu kakeknya, namun ternyata hadits-hadits yang dia riwayatkan adalah hadits-hadits yang dia peroleh dari kitab kakeknya. Metode periwayatan seperti ini dikenal dalam ilmu mushthalah hadits dengan metode wijadah. Periwayatan dengan metode wijadah termasuk periwayatan yang munqathi’ (terputus). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadits ‘Amr bin Syu’aib ini berderajat dla’if, wallahu A’lam.

* * *

Pada asalnya, suatu harga itu harus dibayarkan bersamaan dengan diterimanya barang. Jika pembeli membawa barang dan belum membayar harganya berarti dia menghutang harga barang tersebut. Ketika harga yang dihutang ini dibayarkan pada hari mendatang lalu ditambahkan nilainya maka tambahan ini adalah riba, bahkan itu hakikat riba yang dilarang oleh Al-Qur’an.

Dari uraian analisis di atas disimpulkan bahwa tambahan harga dengan bertambahnya waktu pembayaran itu adalah riba. Maka melakukan tambahan ini adalah terlarang, haram.

BAB VII

KREDIT  TANPA TAMBAHAN HARGA

Ulama sepakat (paling tidak; tidak ada yang berselisih) bahwa jual beli dengan sistem kredit dengan harga sama dengan harga kontan itu boleh. Hal ini sejalan dengan sebuah hadits ‘Aisyah radliyallahu ‘anha tentang Barirah yang memerdekakan dirinya dengan sembilan Uqiyyah yang diangasur tiap tahun satu Uqiyyah.

عن عائشة رضي الله عنها قالت: جاءت بريرة فقالت إني كاتبت أهلي على تسع أواق في كل عام أوقية فأعينيني  . . . .

Dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, berkata, ”Barirah datang dan berkata; sungguh aku melakukan mukatabah dengan tuanku dengan sembilan Uqiyyah, tiap tahun aku bayar satu Uqiyyah, maka bantulah aku . . . .

BAB VIII
KESIMPULAN

Setelah panjang lebar menganalisa pendapat pendapat yang berkaitan dengan jual beli kredit sampailah akhirnya pada beberapa kesimpulan;

    Hukum jual beli dengan dua harga; kontan dan kredit adalah haram.
    Tambahan harga dengan bertambahnya waktu pembayaran itu adalah riba. Maka melakukan tambahan ini adalah terlarang, haram.
    Jual beli dengan sistem kredit dengan harga sama dengan harga kontan itu boleh, halal.

Catatan:

Kami sangat menunggu kritikan2 dan saran  yang membangun, terutama yang berkenaan dengan analisis. Berkenaan dengan yang lain juga nggak mengapa, kami tunggu juga…. salam ukhuwwah..

[1] KUBI halaman 619.

[2] Al-Mu’jamul Wasieth, juz II, halaman … .

[3] Lisamul ‘Arab  juz…, halaman….

[4]  Shahieh Fiqhis Sunnah, juz IV, halaman 320.

[5] Shahieh Fiqhis Sunnah, juz IV, halaman 320.

[6] Durarul Hukkam Fi Syarhi Majallatil Ahkam, juz I, halaman, 256, no. 157.

[7] Al Muhalla, juz …, halaman …, masalah ke 1517.

[8] Nailul Authar, juz 05, halaman 129.

[9] Sunanut Turmutzi, juz 5, halaman 137, no. 1276.

[10] Syarhus Sunnah, juz 04 , halaman 306, no. 2111.

[11] Fatawal Islam su`al wa jawab, juz 01, halaman 1207, no.13722.

[12] Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta`, juz 13, halaman 192, no. 169.

[13] Fatawasy Syubkatil Islamiyyah, juz 02, halaman 40, no 1084 dan 49700.

[14] Fatawa Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifie juz 01, halaman 210, no. 05.

[15] Fatawa Mauqi’ul Ulukah, no.2053.

[16] Bunyi sub bab ini hanya untuk membedakan antara pendapat ..(2) dan pendapat ..(3) ini. Dua pendapat ini sebenarnya sama tapi cara pandangnya (begitu juga cara menganalisisnya) berbeda.

[17] Tahdzibus Sunan (Dicetak bersama Aunul Ma’bud), Juz 09, Halaman …

[18] Asy-Syarhul Mumthi’ Syarhu Zadil Mustaqni’, juz 08, halaman 239.

[19] Ma’alimus Sunan, jilid 02, juz 03, halaman 104.

[20] Silsilatul Ahaditsish Shahihah jilid 05 , juz 05, halaman 426.

[21] Al-Muhalla, juz. 9, halaman 16

[22] Syarhu Tanqiehil Fushul, juz 2, halaman 229.

[23] Silsilatul Ahaditsish Shahihah jilid 05, juz 05, halaman 426

[24] Al-Musnad, juz 1, halaman 229.

[25] Lihat kembali analisis dan Munaqasyah (1) no. 1.

[26] Al Fatawal Kubra jz. hlm.

[27] Tahdzibus Sunan jz. hlm.

[28] Asy-Syarhul Mumthi’ jz. 08, hlm. 239.

[29] Tahrierul Qawa’idi wa Majma’ul Faraid juz 1, halaman 101.

[30] Silsilatul Ahaditsish Shahihah, jz.05, hlm.

[31] Syarh Muqadimatut Tafsir, hlm.   .

[32] Al-Mu’tamad fil Fiqhisy Syafi’i, jld. 1, hlm.18.

[33] Nailul authar, jz, hlm.

[34] Al-Imam Zaid halaman 293.

[35] Ahkamul Qu`an, juz … , halaman … .

[36] Silsilatul Ahaditsish shahihah, jilid … , juz … , halaman … ,

[37] As-Sunanul Kubra, jz.5, hlm. 277.

[38] Tahdzibut Tahdzib, jld. 4, hlm. 333.

[39] Taisiru Mushthahil Hadits, hlm. 165.

[40] Tahdzibut Tahdzib, jld. 4, hlm. 334.

[41] Taisiru Mushthalahil Hadits, hlm. 84.

[42] Taqribut Tahdzib, jld. 1, hlm. 441, no. 5217.

[43] Tahdzibut Tahdzib, jld. 4, hlm. 334-335.

[44] As-Sunanul Kubra, jz.5, hlm. 277, no. 10835,

[45] Mizanul I’tidal, jld. 3, hlm. 266-267.

[46] Tahdzibut Tahdzib, jld. 4, hlm. 333.

[47] Tahdzibut Tahdzib, jld. 4, hlm. 335.
Share this:

    Twitter
    Facebook

Like this:
Tinggalkan Balasan
Cari
nama2 Allah yang baik
ingat waktu..
mari bersama..
Blog pada WordPress.com. | Tema: Sunspot oleh Automattic.
Ikuti
Follow “RAHMAN MEDIA”

Get every new post delivered to your Inbox.

Powered by WordPress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar